Tentang Janji

01/22/2014

Foto: Tumblr
FOTO: TUMBLR
Entah kenapa, gue rasa makin ke sini makin banyak orang yang menganggap janji itu sepele, janji bukan lagi sesuatu yang sakral, dan janji nggak lagi sakti.
Nggak tau pasti apa penyebabnya. Apakah karena terlalu banyak orang berjanji lalu nggak ditepati, atau terlalu banyak yang berjanji tapi menepatinya secara diam-diam. Tapi satu hal yang gue sadari, janji adalah sesuatu yang nggak bisa keluar begitu aja, khususnya bagi laki-laki.
Janji itu kayak jokes. Semakin sering dikeluarkan, semakin berkurang kekuatannya, dan semakin muaklah orang yang mendengarnya. Makanya, semakin banyak janji, justru semakin meragukan.
Berkurangnya kesakralan janji ini semakin terlihat ketika seleb-seleb di TV seenak jidat bisa nikah dan cerai, sampai ditambah ngemeng-ngemeng para pejabat yang bilang “TIDAK!” tapi nyatanya korupsi juga.
Kita terlalu lelah dengan janji yang diingkari.
Materai. Gue menganalisis kenapa benda itu diciptakan, hasilnya bahwa ternyata memang sejak dulu selalu ada orang nggak jujur, makanya harus tanda tangan dan perjanjian diatur sama hukum. Kalau semua orang jujur nggak butuh tuh tanda tangan di atas materai. Namun materai itu memang ngebantu banget sih buat ngejaga orang-orang yang berpotensi bohong, sehingga mereka jadi lebih menghormati janji sebagaimana mestinya.
Sayangnya, dalam hubungan pergebetanan, materai nggak bisa dijadikan alat untuk membatasi pergerakan si pengingkar janji. Kan nggak mungkin dia lagi ngegombalin kamu, misal…
“Aku nggak akan ninggalin kamu.”
“Bener yaaa?! Coba nih kamu tanda tangan dulu di sini, di sini, dan di sini. Jangan lupa, harus kena materai ya.”
Dikira lagi jual beli tanah kali.
Nah meskipun dalam dunia pergebetanan nggak ada alat semacam materai, tetapi manusia diciptakan untuk bisa berpikir. Ini bukti hasil-hasil pemikiran brilian manusia untuk memecahkan masalah sehari-hari: Ketika pegel nulis, manusia menciptakan alat ketik. Ketika bosan ngetik dengan tulisan biasa, manusia menciptakan tulisan alay dengan memadukan huruf-angka-simbol. Ketika jenuh dengan kali, manusia menciptakan keleusss. Manusia memang inovatif.
Dalam kasus janji ini, atau dalam dunia pergebetanan disebut gombal, orang-orang yang berpotensi mengingkari biasanya diakalin dengan capture.
Yak, pasti banyak anak muda jaman sekarang yang bersyukur banget ada orang yang udah ciptain fitur screen capture. Bagi anak-anak jaman sekarang, screen capture diperlakukan buat mengamankan bukti. Dengan kata lain, seringnya, suatu chat di-capture bukan cuma buat kenangan, tapi buat bukti kalo sewaktu-waktu dia berubah pikiran atau lupa.
Hasilnya, semua file itu cuma jadi kenangan. Dan mentang-mentang namanya “kenangan,” jadi kerjaannya tiap hari dikenang terus, dipiara, dan ujung-ujungnya bikin susah move on, tapi orangnya udah kepalang pergi. Salah sendiri.
Gambar: Tumblr
GAMBAR: TUMBLR
Sebenernya dalam perihal orang yang berjanji untuk tinggal tapi nyatanya pergi, ada dua hal yang sangat pelik:
1) Merelakan
2) Ketika hampir bisa merelakan, seringnya yang pergi malah datang lagi
Nah, yang kayak gini nih yang bikin asdfghjkl banget. Rasanya pengen banget teriak,
“Kalo mau pergi, pergi aja! Tapi jangan balik lagi! Apalagi di saat udah hampir lupa.”
Pelajaran yang udah pernah gue alami dan amati tentang janji ini, gue simpulkan jadi sebuah tulisan yang intinya adalah… Sebuah janji atau apa pun yang belum terbukti, membutuhkan satu faktor penting yaitu waktu. Semua tertulis dalam tulisan gue berjudul Waktu Itu…
Dan sebelum menutup tulisan ini, untuk semua yang pernah punya janji, pegang dengan kuat kata-kata ini setiap sebelum tidur, khususnya untuk laki-laki. Seperti yang bokap gue pernah bilang, laki-laki sejati adalah yang bisa memegang janji.
Gambar: Tumblr

GAMBAR: TUMBLR